Light Novel Lanjutan Anime Oregairu Zoku Subtittle Indonesia

   Light Novel Oregairu Subtittle Indonesia    




             Informasi                 


  • Judul Asli :  Yahari Ore no Seishun Love Comedy wa Machigatteiru
  • Volume     : 12 (keatas)
  • Status        : Tamat
  • Genre        : Adventure, Sci-Fi, Shounen
  • Pengarang : Inagaki, Riichiro
  • Penerbit     : Shounen Jump

             Link Download        


DOWNLOAD
Vol 12  (Lanjutan Anime)Mediafire


Akhirnya, Musim Berganti, dan Salju-pun Mulai Mencair 
Volume 12 | Chapter 1


Selamat Membaca !!!!!

Sudah lama aku terbiasa dengan musim dingin disini.
Karena aku tidak pernah meninggalkan tempat kelahiranku, begitu juga diriku yang ada di jalan ini, dingin yang semacam ini seakan sudah menjadi kawan lama bagiku. Meski begitu, aku sendiri merasa kalau musim dingin di Chiba tidak memiliki hal yang spesial daripada tempat lainnya.
Apakah itu udara yang terasa kering, angin dingin yang menusuk, ataupun sensasi dingin yang kurasakan mulai merayap dari kaki hingga punggungku ini, sebenarnya aku tidak benci hal itu. Meski begitu, itu tetap menjengkelkan.
Bisa dikatakan kalau untuk hal-hal dimana orang-orang sudah terbiasa dengan itu, maka orang-orang akan melihat itu sebagai hal yang lumrah, dan akhirnya mereka bisa menerima hal itu.
Ngomong-ngomong, entah itu panas ataupun dingin, sebenarnya pertanyaan tersebut selalu dibandingkan dengan standar cuaca terkini. Dengan kata lain, kau tidak bisa membandingkan cuaca dingin yang saat ini kau rasakan jika kau tidak pernah merasakan bagaimana cuaca dingin di tempat lain.
Jadi, jika kau sendiri tidak tahu apa itu arti dari hangat, maka kau sebenarnya juga tidak tahu tentang tempat-tempat hangat lainnya. Misalnya, hangat itu ketika kau meniup kedua tanganmu sehingga bisa menghangatkannya, atau suara lembut dari mantel dan syal yang saling bergesekan satu sama lain, atau juga seperti situasi dari beberapa orang yang sedang duduk di bangku dan secara tidak sengaja saling menggosok lutut yang lainnya, atau juga panas dari orang yang sedang duduk di sebelahmu.
Ketika memikirkan tentang mengapa kehangatan yang diperoleh dari sentuhan sangatlah mengerikan, aku mulai melemaskan tubuhku. Ngomong-ngomong, orang yang duduk di sebelahku adalah Yukinoshita dan Yuigahama. Keduanya hanya terpisah dengan jarak satu kepalan tangan saja.
Saat malam, bagi taman yang berada di tepi laut ini, tidak ada seorangpun kecuali kami bertiga. Kalau kulihat ke arah kejauhan, aku bisa melihat dua buah gedung kondominium dimana Yukinoshita biasanya tinggal.
Taman ini terletak tidak jauh dari tempat perbelanjaan yang berada di depan Stasiun, jika kau terus berjalan mengikuti jalan raya yang ada di dekatnya, maka kau akan menjumpai banyak sekali kondominium berdiri di pinggir jalan. Meski berada tepat di pinggir laut, karena kehadiran dari pepohonan yang rindang, yang tertanam dan membentuk semacam penahan yang solid, angin yang bertiup dari laut tidaklah terasa dingin.
Meski begitu, mengapa kami semua merasa kalau udara musim dingin cukup menusuk kali ini karena sepinya orang di tempat ini, ditambah lagi dengan mulai menumpuknya salju di daerah ini.
Ini masih tanggal 14 Februari. Orang-orang menyebut hari ini sebagai Valentine Day     atau hari sarden kering. Di hari yang sama, adikku, Komachi, menjalani ujian masuk sekolah.
Di hari itu juga, kami pergi menuju Akuarium.
Salju yang jatuh sejak pagi sebenarnya tidak bertumpuk terlalu banyak, tapi kau bisa melihat jelas salju itu sedang berada di atas pepohonan dan rumput. Kuberitahu ya, salju itu bisa menyerap bunyi.
Meski begitu, kupikir salju yang tidak terlalu tebal bisa mengurangi suara secara signifikan, mungkin lebih tepatnya kami disini tidak mengeluarkan satupun suara      hanya menatap kosong ke kegelapan malam.
Di saat yang bersamaan, cahaya bulan dan lampu jalanan menerangi kami. Karena hal tersebutlah, sosok kami bisa terlihat terang dan kontras dengan kegelapan malam.  Aku teringat kalau dulu ada pelajaran yang menyebutkan kalau lampu-lampu ini memancarkan cahaya fluorescent yang berwarna pucat. Kalau ingatanku itu benar adanya, aku yakin kalau lampu ini malah akan membuat kami merasa lebih dingin dari sebelumnya.
Warna orange yang terpantul dari salju yang turun ini memang memberikan kesan hangat. Meski begitu, salju-salju tersebut akan menghilang ketika disentuh. Kesan hangat yang kulihat dari jatuhnya salju-salju yang memantulkan cahaya senja ke lautan di ujung sana seolah memberitahuku kalau ini bukanlah sebuah halusinasi.
Hari ini memang turun salju, dan begitu juga hari dimana sudah kita habiskan bersama. Salju yang merupakan bukti kata-kataku barusan jika mengalami perbedaan suhu atau seiring berjalannya waktu, akan menghilang.
Kalau kau sentuh, itu akan menghilang, kalau kau hendak bermain dengannya, maka itu akan hancur dan rusak. Tapi, jika tidak terjadi apapun juga, suatu hari itu akan tetap menghilang juga.
Kalau memang cuacanya bisa selalu dingin seperti ini terus menerus, apakah mungkin itu akan tetap seperti  ini selamanya…?

Aku terus memikirkan apakah tersebut. Sambil menggigil, kubuang jauh-jauh pikiran tersebut. Jawaban pertanyaan tersebut sudah kutemukan waktu aku kecil dulu ketika sedang  membuat orang-orangan salju.
Kutolehkan kepalaku dan berdiri. Dari salah satu sudut pandanganku, aku melihat ada sebuah mesin penjual minuman yang bermotif separuh biru dan separuh merah. Ketika aku menoleh kembali ke arah mereka, akupun mengajukan pertanyaan tersebut.
“Apa kalian ingin minum sesuatu?”
Mendengarkan pertanyaanku, mereka kemudian hanya menatap satu sama lain dengan diam, tapi tidak lama kemudian mereka menganggukkan kepalanya. Kuanggukkan kepalaku untuk memberikan isyarat balasan.
Lalu kuberjalan menuju mesin penjual minuman tersebut dan merogoh dompetku untuk mencari uang kecil.
Seperti biasanya, aku memilih kopi. Kemudian, kupesan juga dua teh dengan bungkus plastik. Dengan berjongkok, aku mengambil minuman tersebut dan memasukkannya ke kantong mantelku.
Ketika aku mengambil kaleng minuman tersebut satu persatu, yang terakhir kupegang terasa sangat panas dan anehnya juga memberikan kesan dingin yang tidak biasanya. Kalau kupegang terus, tanganku pasti akan kesakitan.  Jadi kulempar-lempar antara tangan kanan dan kiri, sambil berpikir mengapa aku merasakan dingin yang aneh tadi.
Ketika kedua tanganku mulai terbiasa dengan hangatnya kaleng tersebut, pertanyaanku sudah terjawab.
Hangat yang biasa dirasakan oleh tubuh bisa ditulis dalam angka. Meski begitu, itu hanya angka saja.
Tapi, aku tahu apa yang lebih hangat dari itu, kehangatan. Perbedaan antara kehangatan dan hangat tidak hanya dari kata-katanya saja. Akupun merasa kalau aku juga pernah merasakannya secara langsung. Lagipula, tidak ada yang perlu dibanggakan karena aku sendiri juga hanya baru saja mengalaminya.
Kalau mau dibandingkan, aku merasa kehangatan yang diberikan dari sentuhan lutut kami memang terasa lebih hangat daripada kehangatan dari sekaleng kopi 100Yen.
Akupun terus berjalan tanpa mempedulikan  panas yang diterima oleh tanganku ini.  Sambil berjalan, aku teringat tentang kehangatan yang ada di dadaku ini yang terus bertahan hingga hari ini.
Perasaanku mengatakan kalau sepertinya aku akan susah sekali mendapatkan kehangatan yang seperti ini lagi. Meski aku ingin waktu ini membeku dan tidak bergerak karenanya, ternyata aku masih terus berjalan ke arah mereka.
Tempat duduk yang sebelumnya menjadi tempatku, ternyata masih kosong. Karena aku kini sudah memahami apa artinya kehangatan, susah sekali bagiku untuk duduk kembali disana.
Apa…kah…ini adalah jarak kami yang seharusnya? Sampai sekarang aku masih belum menemukan jawaban dari pertanyaan tersebut.



Jadi kupikir tidak masalah kalau jaraknya seperti ini. Malahan mungkin tidak masalah kalau lebih dekat lagi. Itulah yang kupikirkan ketika langkahku mulai dekat dengan posisi mereka.
Seperti bagaimana setahun belakangan ini, secara perlahan aku mendekati mereka, menguji diriku apakah aku bisa lebih dekat lagi, dan di saat yang bersamaan, aku terus memikirkan seperti apa jarak yang seharusnya ada diantara kita.
Aku terus melangkah tanpa mengetahui apa jawabannya, meski begitu aku terus mengamati apakah ada sesuatu yang terjadi. Tapi, ketika aku sadar kalau aku tidak paham satupun hal, kakiku sudah tidak bisa berjalan lebih jauh lagi.
Satu langkah lagi. Separuh saja kurasa sudah bagus.
Tapi, di jarak yang seperti ini, aku berhenti.
Lampu jalanan menyinari bangku tersebut seperti sebuah lampu sorot panggung. Bayangan terlihat muncul dari segala arah dan mulai memudar ketika mencapai kejauhan.
Sambil menatap ke arah bayangan-bayangan tersebut, kukeluarkan dua botol teh dan memberikan itu kepada mereka.
Meski mereka awalnya agak sungkan untuk menerima botol teh tersebut, mereka akhirnya bisa menerimanya dengan baik dan berterimakasih kepadaku. Kuberikan dengan hati-hati agar tidak menyentuh ujung jari mereka, setelahnya kutaruh lagi tanganku di kantong mantelku.
Di saat yang bersamaan, terdengar sebuah suara yang aneh.
Aku merasakan sebuah permukaan yang halus di kantongku, dan ketika kuperiksa, ternyata itu sebungkus kue yang tadi kuterima.
Kue yang ada di bungkusan tersebut tidak bertambah, juga tidak berkurang. Well, meski aku menghancurkan kue tersebut sehingga menjadi berkeping-keping, itu tetap tidak menambah jumlahnya.
Seperti yang kutahu, kebahagiaan tidak akan meningkat dengan sesederhana itu. Entah itu Peter, Chita, atau Carrousel, mereka pernah menyebut itu.
(note: semua nama di atas itu adalah nama panggung entertainer ataupun artis di Jepang yang karakter orangnya sedikit berlainan gender. Bahkan, yang terakhir tadi merupakan transgender.)
Jelas, ini tidak bertambah banyak, malah kalau berkurang akan menjadi sesuatu yang menakutkan.
Karena khawatir mungkin akan kena remas, atau hancur, kukeluarkan dari kantongku. Untungnya, plastik pelindung yang berwarna pink tersebut bisa melindungi dengan baik.
Karena merasa lega, ketika hendak kumasukkan lagi ke kantongku, kudengar desahan napas seseorang di sebelahku.
Ketika kulihat sumber suaranya, ternyata Yukinoshita sedang melihat ke arah kue tersebut.
“Itu benar-benar terlihat bagus…”
Dia melihat kue tersebut dengan ekspresi nostalgia. Kata-kata spontannya barusan membuat Yuigahama terkejut. Tapi, Yuigahama dengan cepat mencondongkan tubuhnya dan membalas.
“Ah, ya! Pembungkus dan masute, aku menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mencarinya.”
“Huh? Masute? Apa itu semacam salam di India?”
Yukinoshita lalu memegangi keningnya dan berkata.
“Nama salam disana itu namasute, dan yang dia maksud itu adalah sejenis tape untuk membungkus barang.”
“Sangat mengejutkan mengetahui orang sepertimu tahu banyak informasi yang tidak berguna soal salam tapi orangnya sendiri jarang melakukannya dengan benar.”
“Apa kau bodoh? Dengan salam pembuka yang benar, maka suasana akan berubah menjadi pembicaraan yang akrab. Kata-kata yang tepat sebagai pembuka salam adalah yang terpenting.”
Setelah itu, Yukinoshita yang tampak lelah mulai tersenyum.
“Kalau itu dirimu, sebuah salam mungkin sudah terhitung sebagai sebuah pembicaraan.”
“Ah, benar. Itulah mengapa aku mencoba untuk menghindari memberi salam ke orang lain.”
“Hikki, apa kau ini benar-benar tidak tahu caranya berbasa-basi!?”
Tidak  banyak yang bisa kulakukan jika namaku menjadi “Hikki”. Apakah benar kalau nama orang itu bisa mencerminkan karakternya? Kalau dipikir-pikir, aku mulai terbiasa dipanggil Hikki oleh Yuigahama…Kalau aku yang dulu, aku pasti tidak mempedulikan orang yang memanggilku dengan nama yang memalukan tersebut…Mungkin juga aku akan memalingkan pandanganku dengan wajah yang malu-malu  dan menolak dipanggil seperti itu dengan suara yang pelan. Yeah, benar, tapi kalau kupikir-pikir lagi, aku sudah tidak berniat untuk menolak itu dan menerima cara dia menyebutku sejak awal.
Masute, jadi itu kepanjangan dari Masking Tape? Baiklah, kuingat-ingat dulu, tapi aku sendiri tidak tahu itu sejenis tape apa dan bagaimana cara menggunakannya. Kalau dipikir-pikir lagi, Nona Yukinoshita ini sepertinya tahu banyak soal istilah kekinian. Cukup mengejutkan. Kupandangi dirinya ketika aku memikirkan ini.
Seperti tahu apa yang sedang kupikirkan, diapun tersenyum lembut.
“Masking Tape. Biasanya digunakan untuk menyegel barang. Tapi, belakangan ini dipakai untuk dekorasi atau tujuan desain tertentu.”
“Yup! Ada juga yang manis loh, banyak orang yang sudah pakai! Biasanya dipakai untuk barang kiriman ataupun kertas catatan.”
Sambil mendengar penjelasan Yuigahama, kulihat lagi pembungkus kue tersebut. Begitu ya, memang ini terlihat bagus.
Bungkus kue ini diikat oleh benang berwarna keemasan. Bahkan, motif telapak kaki anjing di pembungkusnya membuatnya terlihat manis. Kalau disimpulkan secara keseluruhan, desainnya benar-benar bagus.
Akupun terus melihat kue tersebut. Yuigahama, yang sedari tadi tampak tidak tenang, kini mulai panik. Kedua matanya bolak-balik menatap kue dan diriku.
“Well, kalau soal rasanya…Aku sendiri tidak yakin soal itu, tapi setidaknya kulakukan yang terbaik.”
Dia menatapku dengan ekspresi penuh determinasi. Kedua matanya menunjukkan keseriusan.  Kusentuh pembungkus kue tersebut.
Kukatakan saja dengan jelas.
“…Ya, kalau itu aku yakin sekali.”
Ini adalah sesuatu yang dia buat dengan usaha terbaiknya. Meski aku tidak tahu bagaimana rasanya karena belum mencicipinya, ini adalah sesuatu yang dia buat dengan segenap tenaganya karena dia sendiri tidak bisa memasak. Meski begitu, aku tahu kalau dia memang menggunakan segenap hati dan jiwanya untuk itu.
Meski begitu, kemampuan terbaikku kali ini, adalah memberitahukan dengan jujur perasaanku itu, tanpa adanya kebohongan ataupun menutupinya dengan hal-hal yang baik. Tapi, tampaknya dia sudah tahu apa yang hendak kukatakan kepadanya.
“Benar tidak, Hikki? Kau dulu pernah bilang, semacam selama kau memberikan yang terbaik, atau semacam itu.”
(note: itu kalimat vol 1 chapter 3)
Yuigahama tertawa dan membusungkan dadanya. Dia lalu mengibas-ngibaskan jarinya dengan bangga.
“…Kau masih ingat itu?”
Aku sedikit terkejut. Dia ternyata punya ingatan yang kuat. Well, tentunya, akupun ingat soal itu.
Yang kukatakan waktu itu bukanlah sebuah kebohongan. Akupun mengakui itu dari lubuk hatiku yang terdalam, tapi akupun juga sedikit malu ketika mengatakan itu waktu itu. Aku ini tipe orang yang mau mati saja ketika memikirkan tentang apa yang sudah kukatakan oleh diriku di masa lalu.
Tapi, aku bukanlah satu-satunya orang yang malu soal itu.
“Well, itu…Mungkin lebih tepat mengganti masih ingat dengan mustahil melupakan itu. Begini, sejak awal aku merasa tergugah oleh kata-kata itu, dan kemudian…”
Dia lalu tertawa sambil tersipu malu, lalu melemaskan tubuhnya seperti kurang nyaman akan sesuatunya.
Oi, kalo lo terus gitu, gue juga ngerasa ga nyaman!

Akupun ikut tertawa mendengarnya. Ketika kedua mata kami bertemu, Yuigahama berusaha memalingkan pandangannya.
“Hikki memang selalu mengatakan hal-hal semacam itu. Akupun sudah terbiasa dengan itu.”
Kemudian, Yukinoshita juga tertawa dan menambahkan.
“Ya, dia memang suka mengkhianati ekspektasi orang-orang.”
Yuigahama lalu menganggukkan kepalanya seperti setuju dengan kata-kata Yukinoshita.
“Ngomong-ngomong soal itu, kupikir aku bukanlah satu-satunya orang yang seperti itu. Bukankah kau juga sama, Nanameshita-san?”
(note : naname bisa diartikan tegas, bisa juga diartikan gila.)
“Apa-apaan dengan nama barbar barusan?”
Yukinoshita menaikkan alisnya seperti kurang senang sambil menatapku dengan tajam. Sebaliknya, alis Yuigahama tampak menurun dan tampak kurang tenang.
“Ah, benar, mengingatkanku tentang terapi hewan peliharaan yang waktu itu…”
(note: vol 2 chapter 4)
“Well, itu termasuk juga, aku sendiri waktu itu tidak yakin kalau dia itu berada di bawah atau di atas ekspektasiku.”
Kugaruk-garuk wajahku, dan mengangguk menyetujui pendapat Yuigahama yang sedang malu-malu itu. Waktu itu, hubungan kita tidak sebaik ini, jadi kita tidak mengatakan apapun soal itu. Tapi, kalau sekarang aku melihatnya di depanku, aku akan bilang “Orang ini ngapain sih?”. Mungkin, Yuigahama berpikir hal yang sama denganku, dimana dia juga mengangguk seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Well, bagaimana ya aku bilangnya? Kupikir Yukinon karakternya waktu itu tipikal orang jenius, tapi…”
Whoops, tampaknya akan muncul kebalikan dari itu. Dia sudah bilang tapi, jadi yang akan muncul sesudahnya pasti menyangkal yang pertama.
Yang ingin Yuigahama katakan mungkin “Ah dia mungkin waktu itu hanya ingin bermain dengan kucing saja.”

Ngomong-ngomong, tidak mengatakan itu dengan keras mungkin salah satu bentuk kebaikan hati. Kalau aku terus mengucapkan banyak sekali tanda tanya kepadanya, dia pasti melawanku dengan brutal. Karena itulah, kusimpan kembali kata-kata yang ingin kukatakan itu ke dadaku.
Tapi, Yuigahama tampaknya tidak bisa menyembunyikan itu lagi. Memang, lihat saja dadanya…Mana bisa dia menyembunyikan itu!

Well, anggap saja itu sebagai momen Yukinon.”
Meski Yuigahama mengatakan itu untuk mencairkan suasananya, yang dia dapati malah pandangan dingin dari Yukinoshita.
“Apa yang kau maksud itu dirimu sendiri?”
“Bukan, bukan seperti itu. Waktu kita bermain Quiz Chiba dulu, aku juga memakai otakku dengan benar.”
Yuigahama mulai panik ketika menceritakan kejadian yang telah terjadi di masa lalu.  Kata-katanya itu mengingatkanku ketika kita bermain game kegelapan tersebut.
(note: volume 7.5 special)
“Serius kau menggunakan otakmu waktu itu? Kupikir malah kau ini beruntung waktu itu.”
“Ke-Kenapa itu menjadi masalah? Keberuntungan juga merupakan sebuah keahlian. Lagipula waktu itu kan ulang tahunku, jadi memiliki keberuntungan di hari ulang tahun adalah sesuatu yang lumrah. Banyak hal-hal baik terjadi hari itu, dan akupun juga sangat gembira waktu itu.”
Yuigahama, yang awalnya bersemangat, kini suaranya mulai merendah. Tolong jangan mengatakan hal-hal yang memalukan di tengah pembicaraan. Kalau kuingat lagi waktu itu, aku serasa ingin mati saja. Secara spontan, akupun merendahkan kepalaku juga.
(note: waktu Quiz tersebut, di pertanyaan final Hachiman menjawab sesuatu yang konyol dan kalah. Belum lagi, hukuman yang diminta Yui yaitu kencan, oleh Totsuka Cs malah berubah menjadi hang-out bersama.)
Tiba-tiba, Yukinoshita menggumamkan sesuatu.
“Jadi waktu itu kau beruntung karena itu ulang tahunmu…”
“Apakah itu menjadi masalah?! Yang penting kita menang, dan itu sudah cukup bagiku.”
Yukinoshita hanya bisa memiringkan kepalanya ketika Yuigahama mengatakan pendapatnya. Sementara itu, Yuigahama sendiri tampak kurang senang dengan situasinya. Melihat mereka berdua, membuatku ingin tertawa saja.
Seperti kata Yuigahama, tidak peduli prosesnya seperti apa, yang penting menang saja sudah cukup.
Hal-hal positif dari Yuigahama yang semacam ini selalu menjadi hal yang menyelamatkanku. Tidak hanya aku, Yukinoshita juga.
Yukinoshita tampaknya memahami ini dan tersenyum juga, dia lalu mengibaskan rambutnya sambil mengangguk puas.
“Memang…Menang memang sesuatu yang bagus.”
Yak kita akan mulai lagi dengan karakter Aku Benci Kalah yang itu.”
Secara spontan, akupun mengucapkan itu. Setelah aku mengatakannya, Yukinoshita menatap ke arahku.
“Kau sepertinya sangat menyukai kalah.”
“Tidak juga…Aku selalu memberikan yang terbaik untuk menang.”
Meski sudah kukatakan sanggahanku, sepertinya mereka berdua tidak mendengarkanku. Malahan, Yuigahama hanya mengembuskan napasnya seperti setuju dengan Yukinoshita.
“Persis seperti waktu Tenis dan Judo dulu…”
“Oh yang itu ya, kupikir kau juga sudah banting tulang waktu itu.”
Yukinoshita tampaknya mulai kelelahan, atau juga dia sudah kehabisan kata-kata. Hanya dianggap remeh sedari tadi, itu membuatku menjadi kurang senang. Karena itulah, akupun mengoreksinya.
“Tulangku tidak terbanting. Malah tidak ada tulang yang patah, hanya saja pinggangku yang sakit waktu Judo dulu.”
Mendengarkan jawabanku, tiba-tiba Yukinoshita menjadi emosi.
Banting Tulang itu hanyalah kiasan saja. Apa maksudmu dengan pinggangmu terluka? Ngomong-ngomong, kau sudah konsultasi ke dokter? Sakit pinggang bisa saja memberikan dampak tertentu untuk jangka waktu yang lama. Malahan bisa serius di masa depan.”
“Kenapa tiba-tiba langsung khawatir seperti itu?! A-Aku malahan mulai khawatir.”
Melihat Yukinoshita yang tiba-tiba bertanya tentang pinggangku, membuat Yuigahama terkejut, dimana itu jelas menunjukkan kalau dia peduli. Meski aku sangat berterimakasih karena sudah peduli, akan lebih baik jika kepeduliannya itu dikatakan ketika aku sedang sakit dulu…Well, karena momennya sekarang, kurasa aku harus memberitahu mereka  tentang kondisi terkininya.
“Aku memang menemui dokter, meski itu hanya sebuah klinik tulang dan saraf, tapi gara-gara itu aku sukses mendapatkan alasan untuk bisa mangkir jam olahraga.”
Melihat ekspresi licik dari wajahku, Yuigahama tiba-tiba mengatakan sesuatu.
“Apa?! Bodoh sekali aku mengkhawatirkanmu selama ini!”
Tidak, aku sangat yakin kalau tidak khawatir waktu itu…Mungkin dia sudah membaca maksudku dari ekspresi tanda tanya yang muncul di wajahku, lalu Yuigahama dengan cepat menambahkan.
“Tapi, jenis-jenis kegiatan bodoh yang semacam itu memang menyenangkan, dimana semua orang bisa terlibat di dalamnya.”
“Benarkah?”
Aku memang setuju pada bagian kegiatan bodoh tadi, tapi aku agak skeptis dengan pernyataan menyenangkan karena semua orang terlibat di dalamnya.
Yuigahama membusungkan dadanya dan menjawab.
“Ya, Yumiko, Hina, Hayato-kun, Sai-chan, dan Komachi-chan…Sangat menyenangkan bisa bermain dengan mereka semua. Seperti waktu Liburan Musim panas yang lalu.”
Yuigahama lalu mulai menatap ke arah kejauhan. Yukinoshita sendiri mengangguk setelah mendengar kata-katanya.
“Kalau tidak salah itu yang melibatkan SD Rinkan ya? Kalau mengesampingkan apakah itu menyenangkan atau tidak, tapi memang kegiatan itu terasa hidup…Kau masih ingat gadis waktu itu?”
Akupun mulai mengingat-ingat kejadian di Desa Chiba tersebut.
“Jangan lupa juga waktu itu ada Hiratsuka-sensei…Well, dia itu guru sih, jadi sulit kukatakan kalau kita bersenang-senang.”
“…Tapi, aku berpikir kalau dia juga bersenang-senang disana.”
Bukannya aku tidak paham apa yang Yukinoshita rasakan, dimana dia sendiri sedang menggerutu soal itu. Ah, Hiratsuka-sensei memang selalu terlihat senang, dimanapun, dan kapanpun…Tobe juga disana. Dasar manusia kampret! Itulah Tobe. Tobe ya, aku masih ingat requestmu yang dulu, dengan sangat jelas, jadi tolong mati saja lu! Tobe mungkin sudah mendengar dari Hayama tentang hal-hal aneh yang pernah aku lakukan. Akan sangat bagus jika hanya akulah di dunia ini yang tahu hal-hal aneh tersebut.
Liburan Musim Panas waktu itu, meninggalkan banyak kesan yang mendalam.
Hal-hal pahit yang terjadi disana, berkumpul seperti membentuk endapan di hati, dan secara pelan-pelan mulai menghantuiku.
Aku tidak bisa melupakan gadis yang bernama Tsurumi Rumi, karena dia sangat persis dengan seseorang yang kukenal. Meskipun konsep semua orang masih belum jelas, ada sebuah tekanan besar agar dia menyesuaikan diri dengan semua orang. Tekanan tersebut hampir menghancurkannya, atau aku sendiri yang merasa kalau dia seharusnya tidak ditekan seperti itu.
Hasilnya, tidak serta-merta bisa kusebut bagus.
Tapi, dia masih mau menjulurkan tangannya meskipun tahu di sekitarnya semuanya palsu, dan aku juga masih berharap untuknya, mendoakan yang terbaik. Ini juga bisa dikatakan sesuatu yang kuharap hanya diriku saja yang mengingatnya.
Tapi, kalau berbicara tentang apa yang orang pikirkan tentang sebuah kegiatan, maka ingatan tersebut pasti juga dimiliki oleh orang-orang yang melalui kegiatan yang sama.
Karena itulah, dia mungkin juga mengatakan sesuatu dimana dia berharap hanya dia saja yang ingat tentang itu.
Sambil melihat ke arah langit, Yuigahama berkata, “Festival Kembang Api waktu itu juga menyenangkan.”
Melihatnya begitu, membuatku otomatis melihat ke arah langit. Tidak ada satupun cincin cahaya ataupun hujan cahaya di langit, yang ada hanyalah langit yang gelap.
“Festival Kembang Api, huh?”
“Kau masih ingat?”
“Well, meski aku tidak melakukan apapun waktu itu, ya kurang lebih aku masih ingat.”
Aku merasakan nada suara yang agak mengganggu dari Yuigahama. Karena itulah, kunaikkan bahuku dan menjawabnya dengan seadanya. Karena sudah melalui kegiatan itu, maka kami punya kenangan yang diingat bersama-sama.
Sepertinya, tarikan napas yang dalam dari Yukinoshita seperti berusaha memecah kesunyian ini.
“Liburan Musim Panas waktu itu sekitar 40 hari, tapi yang kuingat hanyalah kenangan beberapa hari saja waktu itu…”
“Ya mungkin begitulah Liburan Musim Panas itu. Tanpa sadar, tahu-tahu sudah selesai…Kalau diingat lagi, setelah itu kita benar-benar menjadi sibuk.”
“Banyak hal terjadi setelah itu.”
“Ah…Well, ya itu kan karena Ketua Panitianya…”
Tiba-tiba, di pikiranku terbayang image seseorang, dan itu membuat nada bicaraku menjadi emosi.
Yuigahama hanya bisa menggigit bibirnya saja, sepertinya kesulitan untuk mengatakan sesuatu.
“Hmm…Kalau itu, aku no comment.
Ah! Yuigahama-san, kau ini terlalu baik! Biasanya, dalam situasi semacam itu, orang akan menilai siapa yang paling emosi dan dia akan mendapatkan penalti! Seperti yang sudah kuduga, aku melihat Yukinoshita mulai menggerak-gerakkan bahunya. Sepertinya Yukinoshita hendak mengatakan pendapatnya. Bagu sekali! Yukinoshita-san ternyata tidak begitu murah hati!
“Hanya saja, kupikir itu bukan salah Sagami semua.”
“Ah, nama itu, kau akhirnya mengatakannya…”
“…Bukannya kau yang memulai itu? Aku malah sejak awal ragu kalau kau mau menyebut namanya disini.”
Yukinoshita menaruh tangannya di keningnya dan menatapku dengan kesal. Aku hanya bisa mengangguk dan memberikan ekspresi yang mengatakan Oke, oke, gw tau, itu tadi salahku.

Dia lalu pura-pura batuk dan melanjutkan.
“Waktu itu, menjadi seperti itu karena berbagai faktor.”
Cara dia mengungkapkannya memang terkesan sesuatu yang abstrak, juga terdengar berlebihan. Namun, mau diungkapkan dengan cara bagaimana? Meski begitu, kami masih bisa memahami apa yang dia maksud.
Ada faktor-faktor seperti memaksa ekspektasi seseorang, atau menjadi keras kepala  sehingga membuat orang berpikir kalau memberikan request tersebut ke orang lain dirasa hal yang kurang baik, atau juga berpikir kalau semua sudah dikalkulasi, sehingga semua orang berpikir kalau ini demi kebaikan mereka.
(note: ini waktu festival budaya, dimana Sagami memberi request ke Yukino, dan Yukino menerimanya.)
Tapi, ketika menjalani hal-hal yang semacam ini, dan belajar mengenal lebih baik satu sama lain, aku sekarang merasa kalau kita sudah mendapatkan beberapa jawaban baru.
(note: ini sinergi dengan monolog akhir vol 6 chapter 6.)
Jawaban-jawaban yang diperoleh oleh tiap orang mungkin berbeda, tapi pada akhirnya sama saja.
“Ngomong-ngomong, jadwal waktu itu memang terlalu padat.”
Yuigahama dan diriku juga mengangguk mendengar itu.
“Benar. Darmawisata juga tidak lama kemudian setelah itu.”
“Kita juga merasa disibukkan oleh darmawisata itu.”
Aku tidak terlalu jauh menanggapi topik itu. Tapi, Yuigahama dan Yukinoshita malah terus membicarakan topik tersebut.
“Aku berpikir kalau kita kurang menghabiskan waktu bersama-sama, untuk sekedar bersenang-senang disana. Aku hanya merasa kalau kita pergi ke Kiyomizudera? Kalau tidak salah ada juga tempat dimana banyak sekali sarang burung? Banyak kuliner lokal yang belum sempat kita cicipi…Tapi kunjungan ke Desa Wisata Uzumasa memang benar-benar menyenangkan! Rumah Hantu juga!”
“…Kupikir malah Rumah Hantu itu tempat yang kurang bagus dari semua.”
Kebalikan dari Yuigahama, Yukinoshita tampaknya kurang menikmati itu. Meski kita memiliki jadwal yang berbeda di tiap kelas, sulit rasanya membayangkan Yukinoshita masuk ke atraksi Rumah Hantu, bahkan jika kita bersama-sama. Jujur saja, kupikir Yukinoshita tidak begitu terbiasa dengan itu! Tidak, aku juga tidak begitu terbiasa dengan itu, tahu tidak?
“Kupikir kurang lebih kita sudah mengunjungi spot-spot pentingnya. Seperti Ryuanji, Fushimi Inari, Toufukuji, Kitano Tenmangu, dan lain-lain…Ada juga tempat selain spot penting itu yang sudah kukunjungi. Kalau soal makanan, kita sudah mencicipi tahu dan udon sukiyaki hotpot waktu di penginapan. Aku juga akhirnya bisa mendatangi cafe yang dari dulu ingin aku kunjungi.”
Yukinoshita tampaknya cukup senang dengan itu…Ah ah. Aku baru saja ingat, ternyata morning cafe waktu itu ternyata tempat yang ingin kau kunjungi. Well, tampilan tokonya memang keren, dan makanannya enak-enak juga, jadi aku tidak punya komplain soal itu…
Sambil bernostalgia, Yukinoshita seperti teringat sesuatu dan menambahkan.
“Ah, ramen waktu itu juga…”
“Ramen?”
Yuigahama memirinkan kepalanya, seperti kebingungan. Yukinoshita tiba-tiba terdiam dan aku dengan cepat mengatakan sesuatu untuk mengarahkan pembicaraan.
(note: pembaca harus mengingat paragraf ini, sangat penting bagi cerita utama.)
“Ah, ada banyak restoran-restoran terkenal di Kyoto. Misalnya Kitashirakawa dan Ichijiyoji yang sangat terkenal. Kalau aku ada waktu luang, aku ingin pergi kesana juga…Tidak lupa juga Takayasu, Tentenyu…”
“Huh? Apa?”
“Tidak ada. Barusan itu adalah restoran ramen yang ingin kukunjungi, jangan dianggap penting barusan.”
“O-oh, oke…”
Akhirnya aku bisa menyingkirkan kecurigaan Yuigahama, kuputuskan untuk kembali ke topik konvensional kami.
“Well, yang selanjutnya juga merepotkan. Setelah bebas dari masalah Sagami, kita harus menghadapi masalah Isshiki.”
“Ahaha….Pemilihan Ketua OSIS memang sesuatu waktu itu.”
Yuigahama hanya tertawa kecut sementara bahu Yukinoshita tampak sedikit merendah. Melihatnya yang seperti itu, membuat napasku serasa tersengal-sengal.
“Setelah pemilihan, datanglah Event Natal. Serius, khotbah-khotbah soal LOGICAL, MAGICAL, dan sejenisnya membuat situasinya seperti di neraka…”
Sambil tertawa kecil, Yukinoshita memberi komentar tentang situasi waktu itu.
“Aku sebenarnya kurang paham apa yang orang itu bicarakan…Yang kau katakan barusan juga sulit untuk dipahami.”
Punggungnya yang sempat tertunduk, kini berdiri tegak seperti sebelumnya. Yuigahama lalu menyenggolnya.
“Well, tapi kita bisa pergi ke Disneyland dengan gratis, dan kita juga bersenang-senang disana! Kita juga membeli banyak sekali cinderamata Pan-san!”
“…Kurasa itu ada benarnya. Waktu itu bisa dibilang lumayan.”
Yuigahama lalu tertawa dan menatap ke arah Yukinoshita. Yukinoshita sendiri memalingkan pandangannya. Sangat menyenangkan melihat mereka berdua yang seperti ini.
Memang, kurasa waktu itu tidak buruk-buruk amat.
Aku tidak tahu apakah hal-hal yang kita lakukan selama ini berarti. Apakah kita sudah memberikan yang terbaik untuk membantu Isshiki? Mungkin saja tidak. Apakah kita sudah membantu Tsurumi Rumi agar berada di tempat yang selayaknya? Entahlah.  Karena itulah, entah kenapa dia mengatakan hal itu juga.
Tapi pada akhirnya, tidak semuanya berakhir menyakitkan.
Itu karena hal-hal yang disebutkan tadi sudah dilewati dengan damai. Kurasa itu tidak hanya diriku yang merasakannya, tapi mereka berdua yang sedang berada dalam kehangatan ini.
Mungkin karena itulah Yuigahama bisa membicarakan nostalgia masa lalu dengan begitu tenangnya.
“Aku merasa kalau banyak hal yang terjadi seperti berlalu begitu saja. Mungkinkah karena sudah banyak sekali hal yang terjadi setahun belakangan…?”
“Kupikir juga setelah Tahun Baru situasinya bertambah sibuk…Terutama setelah Komachi mulai bersiap-siap untuk ujian masuknya.”
Setelah libur musim dingin, kesibukan bertambah banyak karena gosip itu dan beberapa hal. Waktu dimana benar-benar damai hanya ada di liburan musim dingin saja. Meski begitu, yang teringat jelas adalah setelah liburan itu. Ketika memikirkan itu, aku selalu mengkhawatirkan hasil ujian Komachi.
Kekhawatiranku tentang hasil ujiannya mungkin sudah bisa dibaca dari ekspresi wajahku. Yukinoshita lalu memberikan kata-kata motivasinya.
“Akan sangat bagus bila kunjungan ke kuil di awal tahun baru tempo hari bisa benar-benar memberinya keberuntungan.”
“Uh? Oh, benar. Yeah, kuharap begitu…”
Kuputuskan untuk mencairkan suasananya dan menambahkan.
“Kurasa memang tidak ada gunanya jika yang kulakukan sedari tadi hanya mengkhawatirkannya.”
Yuigahama lalu menganggukkan kepalanya setelah mendengarkan kata-kataku.
“Ya, bagaimana kalau begini? Ayo kita buat pesta perayaan atas kerja kerasnya setelah ini semua berakhir!”
“Ah, baiklah. Mari kita membuat pesta yang besar untuk merayakan keberhasilannya.”
“…Oke.”
“Ayo!”
Meski aku mengatakan itu dengan nada agak merendah karena itu memakai asumsi kalau Komachi lulus, tapi mereka tidak menunjukkan asumsi tersebut dalam kata-katanya. Mereka malah duduk disana dan tersenyum.  Aku benar-benar berterimakasih atas kata-kata mereka, dan karena itulah, akupun tersenyum.
Namun, nada Yuigahama kemudian berubah menjadi serius.
“Tapi, tidak lama kemudian adalah giliran kita, huh?”
“Benar. Tahun depan di waktu yang sama, kita akan menghadapi ujian masuk universitas. Kemudian…”
Sambil mengatakan itu, pandangan Yukinoshita juga tampak merendah. Kita tahu apa yang hendak dikatakannya meski tidak dilanjutkan olehnya. Setelah ujian itu, akan tiba kelulusan SMA.
“Tahun ini benar-benar berlalu dengan cepat…”
Seperti kataku sebelumnya, realita menghajarku lebih keras dari biasanya. Setahun. Waktu yang sama dihabiskan ketika kita membahas hal-hal yang sudah kita lakukan tadi. Kupikir mereka berdua juga merasakannya.
“Tahun ini adalah tahun tercepat yang kulewati selama ini.”
Yukinishita mengembuskan napasnya dengan berat, dan Yuigahama menimpalinya.
“Kupikir begitu! Atau bagaimana ya? Tahu tidak, ini seperti kata orang dewasa? Bagaimana waktu berlalu begitu cepatnya ketika orang bertambah tua.”
“Ah, karena itulah, karena kesibukan yang tiada berakhir…Request terus berdatangan, tapi kusalahkan Hiratsuka-sensei untuk itu.”
“Caramu mengatakan itu, seperti mengatakan kalau dia adalah Monster Tahun Baru.”
Yukinoshita lalu tertawa kecil, dimana Yuigahama dan diriku juga melakukan hal yang sama.
Jujur saja, semua yang terjadi ini gara-gara kata-kata orang itu.
Sebenarnya bukan masalah besar. Mungkin juga itu hanyalah masalah yang kebetulan saja diserahkan ke kita. Sekarang, semua itu akan segera berakhir.
Pada akhirnya, aku masih belum bisa mengambil keputusan yang penting, yang kudapatkan malah banyak keputusan yang abu-abu. Meski begitu, aku ingin menghilangkan hal yang abu-abu itu; meski pada akhirnya aku membuat kesalahan, atau bahkan membuatku kehilangan sesuatu, kuputuskan kalau aku akan menemukan sendiri jawabanku, jawaban kita.
Tidak akan ada habisnya kalau kita terus berpikir tentang masa lalu; aku bisa menceritakan banyak hal tentang masa lalu jika kau ingin tahu.
Yang kuceritakan pasti hal-hal yang menyenangkan dan bahagia, hal-hal yang akan membuat orang tertawa.
Hal-hal yang perlu dikatakan, akan dikatakan, tapi jika tidak perlu, maka akan terus disembunyikan.
Meski begitu, tidak ada satupun orang mengatakan apa yang harusnya perlu dikatakan.
(note: pembaca harusnya mengingat betul dua kalimat di atas.)
Secara tidak langsung, memilih untuk tidak membahas itu adalah sebuah bukti kalau orang itu benar-benar peduli tentang itu.
Mengenai hal ini, kupikir kita bertiga sudah tahu apa yang dimaksud.
Karena itulah, pembicaraan kita terhenti.
Waktu yang sudah kita habiskan bersama sebentar lagi akan genap setahun. Dalam setahun, banyak sekali kenangan yang tercipta. Entah apakah akan diingat, ataupun dilupakan, atau juga pura-pura lupa, itu tidaklah masalah.
Semua pembicaraan tentang masa lalu ini harus berakhir suatu hari nanti.
Kalau kita berniat untuk membicarakan masa lalu hingga saat ini, maka suatu ketika pembicaraan tersebut akan terhenti.
Karena itulah, kita harus melanjutkan topiknya dengan berbicara tentang masa depan.
Mungkin karena semua orang sudah tahu soal ini, maka yang terdengar sedari tadi hanyalah suara napas kita disini, namun tidak ada satupun suara yang keluar.
Tidak ada yang tahu pasti apa yang akan dikatakan, atau memprediksi  kata-kata yang keluar. Meski ini terdengar tidak masuk akal, tapi mustahil rasanya untuk menghentikan ini ketika topiknya sudah terlanjut berjalan.
Hanya suara syal yang bergesekan dengan pakaian yang terdengar di kesunyian ini.
“Hujan saljunya sudah berhenti.”
Yuigahama melihat ke arah langit yang berkabut ketika mengatakan itu.
Yukinoshita tidak membalas balik, dia malahan hanya tersenyum seperti cahaya bulan yang menerobos malam yang berkabut. Dia mengangguk dan melihat ke arah langit.
Kurasa dia hendak melihat ke arah bulan juga.
Selama ini, selalu begini.
Di tempat yang sama, melihat hal yang sama, dan menghabiskan waktu bersama.
Tapi, yang kutakutkan kalau jawaban-jawaban yang akan kami katakan ini ada yang tidak sama. Jawaban yang diyakini tidak akan berubah lagi.
karena itulah, agar tidak mengatakan jawaban tersebut, kami terus membicarakan hal lain seperti cuaca, ataupun kopi manis, atau juga hal-hal tidak penting dalam ingatan kita.
“Waktu aku dilahirkan, cuacanya sedang bersalju. Jadi, Yukino…Nama yang cukup sederhana ya?”
Dalam kesunyian ini, tiba-tiba Yukinoshita menceritakan namanya. Melihatnya tersenyum, Yuigahama meresponnya.
“Tapi, nama itu menurutku cantik dan indah.”
Meski aku tahu Yuigahama tidak sedang mencari pembenaran atas komentarnya, akupun mengangguk.
“…Itu nama yang bagus.”
Mendengarkan jawabanku, Yuigahama tampak terkejut.  Yukinoshita juga membuka matanya lebar-lebar karena terkejut.
Apa-apaan dengan reaksi kalian berdua? Itu hanya akan membuatku merasa malu. Karena itulah, aku memalingkan pandanganku.
Kuminum kopiku untuk mencairkan suasana yang aneh ini.
Jujur saja, kupikir itu nama yang bagus, jadi akan sangat aneh bagiku jika aku mengatakan sesuatu untuk menyangkalnya. Lagipula, aku sendiri tidak tahu harus melakukan apa.
Nama Yukino benar-benar cocok untuknya.
Cantik dan temporer, dikelilingi oleh kesepian.
Anehnya, entah mengapa aku tidak mengaitkannya dengan tidak berperasaan atau orang yang dingin.
“…Terima kasih.”
Mendengarkan ucapannya yang lembut, akupun membalikkan pandanganku dan melihat Yukinoshita yang merendahkan kepalanya. Kedua tangannya melipat dengan rapi di atas roknya. Rambut hitamnya yang panjang seperti sebuah gorden yang menutupi wajahnya. Meski begitu, aku bisa melihat wajahnya yang memerah dari celah rambutnya. Yuigahama mungkin juga menyadarinya. Diapun mulai tertawa kecil.
Dia mungkin mendengar suara tawa tersebut sehingga dia dengan cepat membetulkan posisi duduknya.
“Itu adalah sesuatu yang diputuskan oleh Ibuku. Meski begitu, yang menceritakan ini adalah kakakku…”
Suaranya terdengar datar, tapi entah mengapa aku merasa nada suaranya seperti sedikit menghilang ditelan kegelapan malam. Setelah melihat ke langit, dia lalu meluruskan pandangannya, dan diapun tertawa kecil.
Seketika, Yuigahama dan diriku seperti kehilangan kata-kata.
Apakah kita harus menimpalinya dengan sesuatu yang terpikirkan seperti “Namaku Hachiman, itu malah lebih sederhana. Orangtuaku waktu itu mungkin sedang frustasi berat ketika memikirkan nama yang tepat untuk Komachi, tapi untuk namaku mereka tinggal memutuskannya begitu saja.” Atau sejenis itu?
Atau mungkin kubiarkan Yuigahama yang berbicara. Dia mungkin bisa meresponnya dengan lebih baik?
Tapi, baik Yuigahama dan diriku memilih diam.
Hanya suara desahan napas kita yang membalas kata-katanya.
Ibu Yukinoshita, dan juga Ibu dari Haruno-san…
Kita tidak tahu banyak soal mereka kecuali hubungan sederhana tersebut. Well, aku juga sebenarnya tidak tahu soal hubungan keluarga Yuigahama. Mungkin lebih tepatnya, aku sendiri nol besar soal keluarga mereka. Lebih jauh lagi, mungkin mereka berdua juga tidak tahu banyak soal keluargaku.
Yang tidak kuketahui sebenarnya adalah sesuatu yang lebih dasar lagi.
Aku tidak paham dirinya, atau keduanya. Karena aku tidak paham, aku tidak tahu bagaimana cara meresponnya. Jika ini merupakan alasan mengapa aku tidak tahu apapun, kurasa itu bisa dimaklumi.
Tidak bisa dihindari kalau suatu saat ada orang mengatakan sesuatu yang aneh karena tidak kenal betul dengan orang itu. Wajar jika ada satu atau dua salah paham karena mereka tidak mengenalnya, dan sangat wajar mereka tidak peduli karena mereka tidak kenal. Jika ada masalah datang, maka bilang bilang saja tidak kenal dan biarkan saja, kurasa tidak masalah. Lagipula, kita tidak kenal.
Meski begitu, kesepahaman diantara kita sudah berada di level dimana kita tidak bisa membiarkan begitu saja. Kita tidak bisa terus pura-pura tidak tahu. Akan sangat memalukan kalau kita pura-pura tidak tahu pada saat ini.
Pada akhirnya, aku masih tidak tahu bagaimana pendekatan yang benar tentang hubungan kita bertiga. Di permukaan, yang kulakukan hanyalah becanda dengan mereka, setuju dengan pendapat mereka, menceritakan cerita, dan mengatakan saran. Yang kulakukan kurang lebih seperti itu. Kurasa itu adalah hal-hal yang lumrah. Kurasa yang lebih dari itu bisa dikatakan ekstrem.
Tapi, kita melakukan itu karena kita hendak menolak hal-hal yang terjadi pada hari ini.

Entah mengapa, kedua tanganku mulai meremas kaleng kopi dengan tenaga yang cukup besar. Tapi, kaleng tersebut tidak penyok begitu saja. meski begitu, ujung-ujung jariku mulai bergetar hebat, dan suara kopi di dalam kaleng mulai terdengar.
Fakta kalau suara sekecil itu bisa didengar adalah bukti sesunyi apa situasi kita saat ini.
Secara perlahan, kuminum sampai habis minumanku ini. Aku sudah mengambil keputusan. Setelah meminum ini, aku akan berbicara.
Jika ini adalah sesuatu yang sudah kuputuskan sebelum disini, maka aku harus melakukannya.
Aku selalu begitu. Meski aku sebenarnya hanya terseret dalam situasi ini, tertelan, atau terdorong, pada akhirnya, aku yang harus membuat keputusan akhir.
Ini adalah karakterku. Bisa mengambil sebuah keputusan final, menurutku bukan sesuatu yang patut dipuji. Mungkin lebih tepatnya, itu sudah karakter alamiku. Hanya ada diriku disini, dan karena itulah aku harus melakukan semuanya. Inilah arti dari seorang penyendiri sejati. Kau bisa memanggilku orang yang serba bisa, tapi aku sebenarnya tidak bisa semuanya. Malahan, banyak hal yang tidak bisa kulakukan. Jika kau ingin tahu apa yang aku kuasai dengan baik, maka itu adalah menipu diri sendiri agar diriku menyerah.
Tapi, saat ini bukanlah waktu untuk menipu diriku sendiri.
Aku harus jujur dengan diriku.
Jujur saja, aku selalu berusaha menghindar ketika memikirkan tentang masa depan.
Melarikan diri menurutku bukan kata-kata yang cocok untuk itu. Tapi kurasa itu adalah ungkapan terdekat untuk menggambarkannya.
Kau bisa menyebut itu seperti sengaja menghindar.
Tapi aku jelas-jelas tidak berniat untuk kabur.
Bahkan hingga saat ini, aku merasa sedikit terganggu.
Pada akhirnya, yang kuharapkan bukanlah jawaban, solusi, ataupun kesimpulan. Aku berharap itu bisa menghilang seiring waktu. Aku menunggu semua masalah-masalah ini hilang ditelan udara.
Yang kutakutkan adalah kita bertiga juga sedang menunggu semua itu menghilang secara otomatis. Itulah yang kutakutkan dari tadi. Mungkin terkesan arogan karena aku seperti sok tahu soal perasaan mereka, tapi aku merasa kalau yang kulakukan ini sudah benar.
Lagipula, waktu yang sudah kita habiskan bersama itu seperti sebuah mimpi, atau bisa kau sebut seperti sesuatu yang dibesar-besarkan. Meski begitu, ada kalanya kita di atas dan kita di bawah.
Tapi, aku tahu kalau ini tidaklah nyata.
Yuigahama Yui sudah melemparkan pertanyaannya.

Yukinoshita Yukino sudah menyiapkan jawabannya.
Kalau begitu, apa yang akan dilakukan Hikigaya Hachiman?
Diriku yang di masa lalu pasti akan tertawa melihat situasiku yang sekarang. Diriku di masa depan pasti tidak akan membiarkan hal ini disebut sebagai sebuah jawaban. Tapi, diriku yang saat ini belum tahu apa hal yang benar untuk dilakukan, tapi aku tahu kalau situasi saat ini tidaklah benar.
Jika begitu, apa yang harus kulakukan untuk membuat yang salah ini menjadi benar? Yang bisa kulakukan saat ini adalah berbicara.
Setelah tegukan terakhir kopi yang sudah dingin ini, aku mulai berbicara.
Awalnya, yang terdengar hanyalah suara tarikan napasku. Lalu, sebuah suara yang mengawali apa yang hendak kusampaikan. Akhirnya, aku berhasil mengatakan sesuatu.
“…Yukinoshita, bolehkah kutahu apa yang hendak kau katakan tadi?”
Kira-kira apa yang hendak dia katakan tadi.
Hal yang ingin kudengar waktu itu tidak dikatakan dengan jelas.
Tapi, kurasa ini harusnya sudah cukup. Kalimatku tidak memiliki bagian awal atau akhir, juga tidak ada bagian basa-basinya. Tapi, sangat mungkin itu menjadi pembuka untuk sesuatu. Setidaknya, itu bisa mengkonversi keinginan untuk membicarakan tentang hubungan ini, dimana tadi sempat terhenti.
Yuigahama lalu menarik napasnya dalam-dalam, lalu menatapku.
Tatapannya seperti menanyakan apa keputusanku.

Tapi, Yukinoshita malah merendahkan kepalanya.
“…Apa kau benar-benar ingin mendengarkannya?”
Dari nadanya bisa terdengar jelas kalau dia sedikit ragu. Lirikannya ke arahku dan Yuigahama tampak sedikit lemah, dan ragu-ragu.
Pertanyaan Yukinoshita. Tidak, aku sendiri juga tidak yakin apa itu pertanyaan. Yang dikatakannya tidak diarahkan kepadaku. Untuk menyelesaikan ini, akupun pura-pura batuk, dan melihat ke arahnya untuk konfirmasi. Yukinoshita tampak kesulitan, menurunkan alisnya, dan terdiam.
Seperti diriku barusan, mungkin dia sedang mencari kata-kata yang tepat.
Seperti hendak memberikan dukungan kepadanya, Yuigahama duduk di sampingnya dan menyentuh tangannya.
“Aku selalu merasa…Apakah benar kalau aku selalu menunggu? Sampai saat ini, meski sedikit demi sedikit, kau sudah memberitahuku banyak hal.”
Yuigahama menyandarkan kepalanya di bahu Yukinoshita. Kira-kira apa warna kedua matanya yang tersembunyi dibalik kelopak matanya? Entahlah. Tapi, kekakuan Yukinoshita mulai menghilang, seperti es yang mulai mencair. Ini mungkin karena sikap Yuigahama yang seperti anak anjing butuh perhatian atau juga kehangatan yang dia berikan. Kepalan tangannya yang sedari tadi berada di atas roknya kini mulai terbuka. Dia mulai memegang tangan Yuigahama.
Dia lalu memegang kedua tangannya seperti hendak merasakan kehangatan satu sama lain, lalu mulai berbicara.
“Yuigahama-san, dulu kau pernah bertanya tentang apa yang ingin kulakukan, benar…? Tapi, aku sendiri masih belum mengerti soal itu.”
Aku selalu merasa kalau suara Yukinoshita terkesan mempesona, seperti seorang anak kecil yang kesulitan berbicara. Aku mungkin punya karakter yang mirip dengan itu, semacam anak kecil yang tidak tahu harus kemana.
Yuigahama lalu melihat ke arah bawah, seperti kecewa dengan jawabannya.
Yukinoshita menyadari hal itu, seperti berusaha menyemangatinya, dia lalu memasang ekspresi ceria dan tersenyum.
“Dulu, aku punya hal yang ingin kulakukan…Hal yang sangat ingin kuwujudkan.”
“…Hal yang ingin kau lakukan?”
Yuigahama mungkin terkejut, karena itulah dia mengulangi kata-kata Yukinoshita. Sedang Yukinoshita sendiri hanya menganggauk.
“Pekerjaan Ayahku.”
“Ah…Tapi itu kan…”
Aku teringat sesuatu ketika dia mengatakan itu. Aku pernah dengar kalau Ayahnya adalah anggota DPRD, dan punya perusahaan yang bergerak dalam kontraktor pembangunan. Itu adalah sesuatu yang pernah diceritakan Haruno-san kepadaku. Ketika aku sedang memikirkan kata-kata yang tepat karena masih berusaha mengingat semuanya, Yukinoshita melanjutkan.
“Ya. Tapi karena ada kakakku…Diputuskan kalau itu bukanlah diriku. Itu adalah keputusan dari Ibuku.”
Suara Yukinoshita terkesan semakin dingin. Dia lalu menatap kejauhan, seperti menatap sesuatu disana. Melihatnya yang seperti ini, kami memilih untuk tidak mengatakan apapun.
Kata orang, ketika seseorang sedang membicarakan masa lalunya, mereka akan melihat ke arah kejauhan. Yukinoshita sendiri sedang menatap ke arah langit, dan akupun mengikuti pandangannya.
Entah itu mungkin karena angin yang berasal dari langit, awan di langit terlihat lembut dan berubah-ubah bentuk yang bermandikan cahaya bulan.
Sepertinya aku tidak perlu khawatir dengan cuaca ini. Awan yang menurunkan salju sepertinya sudah tidak ada lagi. Mungkin sebentar lagi kita bisa melihat bintang.
Cahaya yang datang dari bintang berasal dari sumber yang berjarak belasan tahun cahaya dari sini. Cahayanya tidak begitu terang, bahkan kita juga tidak tahu apakah saat ini bintang itu masih ada atau tidak.
Tapi karena itu, membuat bintang tersebut semakin cantik. Sesuatu yang tidak bisa teraih, sesuatu yang akan menghilang, adalah sesuatu yang sangat cantik.
Karena aku tahu soal ini, aku tidak bisa menjulurkan tanganku. Pastinya, kalau aku bisa menyentuhnya, warnanya akan memudar dan hilang. Aku sadar diri, untuk orang yang sepertiku ini, itu adalah sesuatu yang tidak bisa aku pegang.
Yukinoshita, yang bercerita kalau dia punya keinginan di masa lampau, dan juga Yuigahama yang mendengarkannya, pastinya sadar akan hal ini.
“Sejak awal, ibuku selalu memutuskan segalanya. Kakakku selalu diaturnya, meski begitu dia membiarkanku untuk melakukan apapun. Karena itulah, aku selalu mengikuti kemana kakakku melangkah, karena aku tidak tahu harus bagaimana…”
Dari kata-katanya, aku bisa merasakan semacam nostalgia dan penyesalan. Melihatnya dari samping, tatapan matanya seperti kesepian dan dipenuhi oleh penderitaan.
“…Bahkan sampai saat ini, aku masih belum tahu apapun…Persis seperti apa yang dikatakan kakakku.”
Dia mengatakan itu dengan lembut, kini dia mulai menatap kedua kakinya. Tanpa bergerak sedikitpun, seperti berusaha memastikan kalau tidak akan bergerak, dia lalu menatap ujung sepatunya yang cantik.
Kesunyian yang seperti ini membuat kami tidak bisa berbicara.
Yukinoshita mungkin menyadari kesunyian yang menyakitkan ini, karena itulah dia menegakkan kepalanya dan tersenyum.
“Ini adalah pertamakalinya seseorang mendengarkanku berbicara seperti ini.”
Akupun terpengaruh oleh senyumnya. Aku mulai bernapas lega dan membalasnya.
“Apa kau pernah memberitahu orang lain sebelumnya?”
“Kupikir dulu aku pernah membicarakan ini dengan orangtuaku…”
Dia mengatakannya sambil mengingat-ingat sesuatu. Mungkin itu memang sesuatu yang dia inginkan sejak lama. Yukinoshita tampak berusaha mengingat-ingat lebih jauh, tapi pada akhirnya, dia hanya menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tapi, mungkin mereka tidak pernah menganggap serius soal ini. Mereka pernah bilang kalau aku tidak perlu khawatir soal ini…Lagipula, mungkin usaha keluarga waktu itu sudah diputuskan untuk diserahkan ke kakakku.”
“Apa kau pernah mengatakan sesuatu ke Haruno-san?”
“…Kupikir tidak.”
Mendengar pertanyaan Yuigahama, Yukinoshita menaruh tangannya di dagu dan berpikir sejenak, setelah itu dia hanya tersenyum kecut.
“Lagipula, dia kan orangnya seperti itu.”
“Ah, benar juga…”
Entah itu Yukinoshita, adiknya, atau juga teman masa kecilnya, Hayama, selama topiknya tentang masa depan, percintaan, mimpi, atau harapan, Yukinoshita Haruno bukanlah orang yang cocok untuk pembicaraan yang seperti itu.
Mungkin jika yang bertanya itu orang yang tidak punya hubungan dengannya, dia akan memasang wajah serius dan memberikan saran yang cocok. Dia tidak hanya bisa memberikan jawaban yang bagus, tapi juga membuat pihak lain setuju dengan opininya dan pada akhirnya mereka puas. Bagi orang semacamnya, melakukan hal semacam ini pastilah mudah.
Tapi, jika yang bertanya adalah orang yang dekat dengannya, dia akan memakai pendekatan yang berbeda. Dia tidak hanya akan tertawa dan mempermainkanmu, tapi akan terus menganggapmu sebagai mainannya dan membully tanpa peduli masalahnya selesai atau tidak. Ini seperti apa yang dikatakan Hayama Hayato beberapa waktu lalu.
Mereka mungkin sudah pernah mengalaminya. Karena itulah, Yukinoshita tidak pernah membicarakan ini dengan Haruno-san.
Aku sendiri tidak membicarakan rencana masa depanku dengan keluargaku. Entah apa aku beruntung atau tidak beruntung, tapi sampai saat keluargaku belum menunjukkan adanya ketidaksetujuan akan pilihan hidupku.
Tapi justru karena itulah, ketika aku mendengar sebuah permasalahan keluarga, aku tidak merasa kalau yang kualami berhubungan dengannya. Jika keluargaku menjalankan bisnis, mungkin aku bisa bersimpati dengannya. Sayangnya, keluargaku tipe-tipe karyawan, jadi topik yang dia bawa sepertinya tidak ada hubungannya dengan yang aku alami.
Ini mungkin dialami oleh Yuigahama. Dia juga merendahkan kepalanya, seperti kurang paham dengan situasinya. Yukinoshita sepertinya tidak mempermasalahkan reaksi kami dan terus melanjutkan kata-katanya.
“Tapi, aku harus memberitahunya. Meski jika pada akhirnya, itu tidak akan menjadi kenyataan…Tapi, mungkin karena aku takut akan jawaban yang membuat semuanya menjadi keputusan permanen, sehingga aku selalu tidak mau mencari tahu soal itu.”
Yukinoshita mengatakan itu dengan nada nostalgia. Mungkin dia menyesali kejadian itu. Meski begitu, masa lalu adalah sesuatu yang tidak bisa diubah.
Dia terus menatap kejauhan.
Tepat di depannya, ada Yuigahama dan diriku.
“Karena itulah, aku akan mencari tahu dari situ…Aku ingin memutuskan kehendakku sendiri, bukan karena apa yang orang lain katakan, tapi karena aku ingin memikirkan itu dengan baik, ingin memahami itu…Ingin memberikan yang terbaik.”
Tarikan napasnya yang pendek diiringi oleh senyumannya.
Dengan suaranya yang tenang, Yukinoshita sudah mengatakannya. Dia ingin memberikan yang terbaik untuk itu.
Dalam hati Yukinoshita sendiri, dia mungkin sudah sangat yakin tentang ini. Meski begitu, kalimat itu tidak pernah direalisasikan sehingga terus berputar-putar di kepalanya hingga saat ini.
Jika orang itu tidak membuka kotaknya, tidak akan ada yang tahu. Sebelum momen itu terjadi, maka tidak ada yang tahu seperti apa hasilnya. Tapi jika dia memahami situasinya dan menerima itu, maka hasilnya seperti apa bukanlah sesuatu yang sangat penting.
Pada akhirnya, hasilnya tidak akan berubah.
“Aku hanya punya satu request…Aku ingin kalian melihat ini semua sampai akhir.”
Yukinoshita lalu memegang syalnya dan menutup kedua matanya. Sepertinya itu bukan karena sekitarnya yang dingin, tapi hendak membetulkan syalnya. Dalam diamnya, dia seperti sedang membuat janji dan berdoa kepada Tuhan.
“Apakah itu…Jawaban Yukinon?”
Yuigahama mengatakan itu dengan ragu-ragu. Meski itu adalah sebuah pertanyaan, Yuigahama menundukkan kepalanya, dan tidak melihat ke arah Yukinoshita. Tapi, Yukinoshita sedari tadi melihat ke arah Yuigahama.
“Kupikir begitu, tapi bisa saja salah…”
Yukinoshita lalu tersenyum kecut, sambil memegang tangan Yuigahama.
“Kalau begitu…”
Ketika hendak melanjutkannya, kedua matanya bertemu dengan Yukinoshita, dan Yuigahama-pun mengurungkan untuk melanjutkan kata-katanya.
Akupun juga kehilangan kata-kata seperti lupa untuk bernapas.
Senyum yang indah dari Yukinoshita.
Rambut hitamnya yang panjang, bergerak karena tertiup angin, dan menunjukkan wajahnya yang putih; kedua matanya yang seindah kristal membuatku terpukau. Dia menatap kami berdua. Aku merasakan tidak ada kebohongan di balik kedua mata birunya tersebut, dan akupun mulai tertegun olehnya.
“Tapi, Aku…Aku ingin membuktikan ke semuanya kalau aku mampu melakukannya. Aku merasa kalau itu adalah cara yang terbaik untuk memulainya.”
Tidak hanya dari kata-katanya saja, bahkan dari genggaman tangannya, tatapannya, dan postur tubuhnya tidak mengatakan satupun keraguan.
“Awal untuk itu…”
Yuigahama mengatakan itu seperti terpacu oleh semangatnya. Yukinoshita juga mengangguk untuk mengkonfirmasi itu.
“Ya. Aku harus kembali ke rumah orangtuaku dan membicarakan itu.”
“…Jadi, inikah jawabanmu.”
Caraku mengatakannya seolah-olah itu bukanlah pertanyaan sama sekali. Kalimat semacam itu dimana tidak ditujukan ke siapapun maka tidak ada bedanya dengan monolog. Tapi, kata-kata yang pelan tersebut terdengar oleh Yukinoshita. Dia lalu menaruh kepalan tangannya di lututnya dan berbicara.
“Aku tidak pernah mau menyerah tidak peduli berapa banyak waktu yang dilewati…Kurasa itulah yang kurasakan saat ini…Kupikir aku tidak salah lagi soal itu.”
Setelah mengatakannya, Yukinoshita melirik ke arahku.
Aku paham beberapa hal yang dia katakan, tapi itu mungkin hanyalah bagian dimana aku benar-benar mengerti soal itu.
Jika ada sesuatu yang tidak berubah tidak peduli berapa lama waktu yang berlalu, dan itu tidaklah hilang meski sudah berkali-kali disingkirkan, maka aku yakin kalau itu adalah hal genuine. Berbeda dengan perasaan palsu yang akan hilang setelah menunggu begitu lama dan akhirnya harus berpisah.
Jika itu tidak menghilang meski kau memalingkan wajahmu, ataupun pandanganmu, atau juga pura-pura tidak melihatnya, ataupun lupa, maka itu adalah perasaan yang genuine.
Jika itu adalah akhir yang dia inginkan, maka aku tidak punya satupun kata untuk kuucapkan.
Hanya satu hal dimana aku selalu merasa harus terus mengamatinya.
Yukinoshita harus melangkah sendiri, dan memutuskan sendiri.
Dia tidak boleh mengambil keputusan karena ada saran orang lain, ekspektasi, tekanan, situasi, ataupun suasana.
Bahkan jika prosesnya ternyata harus menghancurkan sesuatu, ikut campur di dalamnya hanya akan merampok harga dirinya.
Yang kuinginkan bukanlah kata-katanya yang menjawab permintaan seseorang, tapi apa yang berasal dari hatinya.
“Apakah kau akan baik-baik saja? Tapi kurasa kau memang harus mencobanya dahulu.”
Kukatakan itu sambil mengangguk untuk merespon sikapnya yang sepertinya kurang percaya diri. Mendengarkan kata-kataku, Yukinoshita lalu menyentuh dadanya, seperti merasa lega akan sesuatu.
“Ya sudah…Aku akan mendukungmu jika itu memang termasuk sebagai jawaban.”
Yuigahama, yang sedari tadi melihat wajah Yukinoshita dari samping, dengan cepat merubah pandangannya ke arah kakinya.
Setelah yakin akan sesuatunya, Yukinoshita lalu mengangguk beberapa kali.
“Terima kasih.”
Yukinoshita menggumamkan itu sambil menundukkan kepalanya. Aku tidak tahu ekspresinya seperti apa. Kupikir aku tidak akan pernah tahu. Bahkan jika aku tahu, aku pasti akan melupakannya dengan cepat.
Tanpa memberikan peluang Yuigahama untuk mengatakan sesuatu, dia kemudian berdiri.
“Kita harusnya segera kembali. Ini sudah mulai dingin.”
Setelah mengatakan itu, Yukinoshita mulai berjalan. Tujuannya mungkin gerbang taman ini, dan akhirnya ke tempat tinggalnya. Yukinoshita lalu melirik ke arah kami yang sedari tadi hanya terdiam.
Rambut hitamnya yang berkibar, rok dan syalnya yang mengibas, dan figurnya yang sangat cantik membuatku ragu untuk mendekatinya.
Tapi, aku sudah berjanji kalau aku akan menyaksikan ini hingga selesai.
Karena itulah, aku berjalan menuju arahnya.
Aku berharap kalau setidaknya kata-katanya tadi mengandung kebenaran, bahkan jika pada akhirnya aku harus menyesali itu semua.

Kata kunci
- Download Light Novel Anime Oregairu Full Volume
Light Novel Anime Oregairu Full Volume
- Light Novel Yahari Ore no Seishun Love Comedy wa Machigatteiru
Baca Light Novel Lanjutan Anime Yahari Ore no Seishun Love Comedy wa Machigatteiru
- Baca Light Novel Lanjutan Anime Oregairu 
Terima kasih telah mampir, nantikan update light novel seru lainnya hanya di Treonime. Jangan lupa tinggalkan pesan jika ingin merequest light novel apapun. Salam Otaku,

0 komentar

Post a Comment